Selasa, 07 Desember 2010

Bekerja pada Ketinggian

Pada dasarnya bekerja pada ketinggian, misal gedung, tower, dan sebagainya menuntut safety yang lebih. Tapi dengan dukungan peralatan, perhitungan, dan manajemen yang baik akan membuat kita merasa aman dan nyaman.
Faktor faktor yang perlu dalam bekerja di ketinggian adalah, fisik, peralatan kerja, serta lokasi yang akan dkerjakan.

Peraturan Bekerja Pada Ketinggian Di Indonesia.


Aturan Bekerja Pada Ketinggian Di Indonesia

Sebetulnya UU No.1 tahun 1970 pada Pasal 2 Ayat 2 poin i secara tegas dinyatakan bahwa persyaratan keselamatan wajib dipenuhi ketika pekerjaan dilakukan pada ketinggian diatas permukaan tanah atau perairan.

Sayangnya bagaimana persyaratan teknisnya masih sangat minim: apa yang mesti dilakukan, alat apa yang mesti digunakan, serta kompetensi pekerja seperti apa. Situasi ini bisa jadi merupakan salah satu sumber penyebab risiko pekerja jatuh dari ketinggian terus mengalami eskalasi.

Kita semua tahu tidak banyak pengusaha yang peduli dengan keselamatan para pekerjanya. Keselamatan pekerja adalah salah satu hak asasi setiap orang sehingga Pemerintah wajib memberikan perlindungan pada hak yang satu ini, jika tidak dapat dikatakan Pemerintah ikut ambil bagian terjadinya pelanggaran hak asasi.

Saat ini Pemerintah bersama asosiasi yang terkait dengan kegiatan kerja pada ketinggian yaitu Asosiasi Rope Access Indonesia (ARAI) dan Asosiasi Ahli Keselamatan Kerja pada Bangunan Tinggi (A2K2BT) sedang mempersiapkan satu aturan komprehensif yang diharapkan aturan berupa keputusan menteri tersebut dapat terbit sebelum tahun ini berakhir.

Pokok dari aturan adalah melindungi tenaga kerja dari bahaya kerja pada ketinggian. Seperti kita tahu statistik kecelakaan kerja di hampir semua negara kecelakaan jatuh dari ketinggian selalu menempati peringkat pertama, untuk negara kita angka korban sangat fantastis: pada tahun 2007 ada 7 orang setiap hari meninggal (padahal pada tahun 2005 masih 5 orang per hari!).

Semoga dengan akan lahirnya aturan mengenai kerja pada ketinggian kita akan jarang mendengar pekerja gondola jatuh karena tali gondola putus, pekerja kontruksi jatuh karena tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) dan berita kecelakaan jatuh lainnya yang sebetulnya bisa dicegah.

Kebiasaan Mengambil Resiko

Kebiasaan Mengambil Resiko

Dalam kehidupan sehari-hari tidak terhitung rasanya kita melampaui batas kecepatan kendaraan baik itu di jalan raya ataupun jalan di kompleks rumah. Sering kali kita naik ke atas meja atau menggunakan bangku alakadarnya untuk membetulkan lampu di langit-langit rumah. Sudah biasa kita naik ke atap rumah tanpa sepatu, dengan tangga bambu pinjaman tetangga sebelah. Sering pula rasanya kita jatuh atau dan terluka akibat pijakan kaki kurang kuat, terpeleset genteng yang licin, atau bangku tumpuan kaki ternyata hancur berantakan.

Penyebab langusng kecelakaan memang mudah untuk dilihat; kecepatan yang melebihi batas, pijakan yang kurang kuat atau terpeleset di atap rumah. Yang tidak mudah untuk dilihat tetapi menjadi benang merah penyebab kecelakaan ini adalah “Risk Taking Behaviour” atau kebiasaan mengambil resiko.

Yang menjadi permasalahan adalah mengapa kita senang mengambil resiko? Sudah menjadi fitrah manusia untuk mengambil resiko. Resiko adalah persepsi diri atas konsekuensi satu pekerjaan yang dilakukan dipertimbangkan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Resiko dengan sendirinya merupakan bagian dari pemikiran dalam bawah sadar saat kita mengambil keputusan - apakah kita akan patuh pada batas kecepatan? Apakah kita akan mengambil tangga untuk membetulkan lampu, apakah kita akan mengenakan sepatu bersol karet ketika naik ke genting? Sudah teruji dan terbukti bahwa pengalaman diri sendiri saja tidak mencukupi untuk melindungi diri ketika bekerja.

Mengapa kita mengambil resiko? Jika ditilik, ada tiga kategori motif mengambil resiko:

1. Tidak menyadari bahwa suatu pekerjaan memiliki resiko diluar yang dipertimbangkan (Unaware, Untrained)

2. Untuk mempersingkat waktu atau meringankan pekerjaan (Short-Cut)

3. Beranggapan bahawa kecelakaan tidak akan pernah menimpa diri kita (Superman behaviour)

Dari ketiga contoh di atas, point pertama dan kedua dapat kita perbaiki dengan sistematis melalui pelatihan dan pembelajaran. Sedangkan kategori ketiga adalah tingkat yang paling berat dalam pengambilan resiko, karena biasanya pelakunya adalah orang-orang yang handal dalam pekerjaannya yang telah berulang kali melakukan pekerjaan dengan cara yang sulit dilakukan oleh orang-orang biasa. Mereka juga cenderung mendapat pujian dari rekan-rekan kerjanya. Untuk itu diperlukan cara yang lebih keras untuk memperbaikinya. Sarana ini bisa berupa peraturan perusahaan yang tegas, tindakan disipliner (denda, sistem peringatan) atau penegakan hukum.

Untuk dapat mengenali resiko ini dengan baik, mulailah membiasakan diri untuk berhenti sejenak sebelum memulai pekerjaan dan mencoba melihat dengan jelas apa saja yang bisa merintangi keselamatan kita seandainya terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Jika banyak yang bisa anda lihat, tulislah pada selembar kertas dan coba cari pemecahannya. Dengan mengerjakan hal ini berulang-ulang, kita akan terbiasa untuk memulai pekerjaan dengan memikirkan resikonya dan bagaimana menghindarinya. Seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, dia akan jatuh juga

Keselamatan Permainan pada Ketinggian.

Keselamatan Permainan pada Ketinggian

Kita sering melihat berbagai permainan di ketinggian disediakan oleh pengelola taman wisata, menggunakan bentangan tali atau sejenisnya. Meluncur dari ketinggian dengan kecepatan tinggi tentunya membangkitkan adrenalin. Anak-anak sangat senang melakukan permainan tersebut, karena memang sangat menantang dan dapat menunjukkan bahwa "saya tidak takut".

Permainan pada ketinggian juga menjadi salah satu "alat" yang sangat ampuh bagi penyelenggara pelatihan manajemen berbasis kegiatan alam terbuka, di sini permainan ini dikenal dengan istilah highrope.

Kegiatan pada ketinggian mempunyai potensi jatuh dan konsekuensinya jelas tidak bisa diabaikan begitu saja. Potensi jatuh bisa disebabkan oleh berbagai faktor seperti: kegagalan peralatan karena tidak sesuai standard, kesalahan prosedur karena tidak kompetennya instruktur, atau faktor alam (bertiupnya angin kencang atau pohon tumbang).

Beberapa kali kita dengar (sayangnya tidak pernah menjadi berita tertulis) terjadi kecelakaan pada permainan di ketinggian, terutama dengan permainan bernama flying-fox. Permaian ini sangat populer karena dengan hanya beberapa ribu rupiah kita bisa merasakan sensasi turun dari ketinggian dengan cepat.

Sebetulnya siapa sih yang berhak mengatur keselamatan manusia dalam kegiatan di ketinggian seperti ini? Sebagai orang tua yang peduli dengan keselamatan anak-anaknya, kita perlu jaminan bahwa fasilitas permainan di ketinggian itu telah dibuat dan dikelola dengan mematuhi persyaratan dan standard keselamatan. Kita tentunya tidak mau keluar dari taman wisata dengan membawa kesedihan yang mendalam (yang tentunya bertentangan dengan fungsi dari taman wisata yaitu untuk menimbulkan kesenangan) akibat adanya korban dari keluarga kita sendiri.

Mungkin pihak terkait seperti Departemen Pariwisata atau Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi perlu mulai mengatur sisi keselamatan permainan di ketinggian. Mengatur dengan tujuan melindungi keselamatan pengguna fasilitas permainan di ketinggian yaitu mulai dari bagaimana fasilitas dibuat, dijalankan dan dirawat termasuk persyaratan mengenai peralatan yang digunakan, kompetensi instruktur yang mengoperasikan permainan, serta prosedur yang wajib ditaati oleh seluruh pengguna.

Dengan aturan tersebut diharapkan menjamurnya kegiatan permainan di ketinggian yang dapat mempunyai manfaat positif tersebut tidak malah menimbulkan akibat negatif bagi masyarakat penggunanya.

Tanpa disadari negara kita yang kaya dengan vegetasi pepohonan yang besar dan tinggi (semoga masih ada ratusan tahun lagi) serta medannya yang berbukit-bertebing telah melahirkan banyak manusia dengan vertical sense yang luar biasa. Jika sense tersebut bisa dioptimalkan dan dikelola dengan baik, maka pada gilirannya para pekerja ketinggian kita bisa menguasai gedung-gedung tinggi yang ada di seluruh dunia.

Tugas kitalah untuk menemukan formula yang tepat agar potensi yang besar itu bisa menjadi kekuatan sungguhan. Pemerintah Cina berhasil mengoptimalkan potensi jumlah penduduk yang besarnya menjadi kekuatan ril yang terus menguasai dunia hingga puluhan tahun lagi. Sense yang sudah ada di setiap otot pekerja merupakan modal dasar yang sangat khas untuk menghasilkan pekerja ketinggian yang tangguh, namun sense, talenta atau skill saja belum cukup. Mereka perlu dibekali pula dengan sikap kerja dan pengetahuan yang memadai secara bersama ketiganya akan membentuk kompetensi. Disiplin pada instruksi atau aturan adalah satu contoh dari sikap kerja yang perlu terus dikembangkan, pekerja dengan skill tinggi tapi dengan tingkat disiplin rendah tentunya akan membahayakan banyak pihak. Pengetahuan pada hal-hal yang terkait dengan kegiatan kerja merupakan keharusan yang juga harus dimiliki, aturan apa saja yang wajib diikuti, bagaimana suatu pekerjaan dilakukan adalah beberapa contoh mengenai pentingnya pengetahuan.

Dengan pemberlakukan ASEAN Free Trade Agreemen (AFTA) pada 2015 sebenarnya merupakan pintu gerbang bagi masyarakat kerja ketinggian Indonesia. Dengan volume kerja yang akan semakin meningkat, sedangkan beberapa negara Asean mempunyai keterbatasan pada sumber daya manusia yang mempunyai kompetensi kerja pada ketinggian, seharusnya menjadi peluang yang sangat baik bagi pekerja ketinggian Indonesia untuk mengambil peran. Masih ada 5 tahun bagi seluruh insan kerja ketinggian Indonesia untuk membenahi diri dalam rangka menciptkan pekerja ketinggian yang kompeten untuk memenuhi potensi pasar Asean. Salah satu hal yang cukup penting dilakukan adalah menciptakan tolok ukur untuk menyatakan seorang pekerja kompeten, tolok ukur ini kemudian perlu dibawa ke meja perundingan tingkat ASEAN untuk diakui sebagai tolok ukur yang diakui bersama oleh seluruh anggota.

Harus diingat bersama bahwa 5 tahun bukan waktu yang lama, terlebih di jaman sekarang ini dimana semua kegiatan seolah berjalan dengan sangat cepat. Dan semua tergantung pada pundak kita semua.

Tingkat Kompetensi Kerja Di Ketinggian Dan Kecelakaan Kerja

Tingkat Kompetensi Kerja Di Ketinggian  Dan Kecelakaan Kerja

Dalam diskusi menyusun standard kompetensi kerja di ketinggian seluruh tim kecil sepakat akan ada 4 tingkat kompetensi yaitu: teknisi, ahli muda, ahli madya dan ahli utama. Untuk tingkat teknisi sendiri akan terbagi menjadi 3 bagian. Pembagian ini telah dikaitkan dengan level tanggungjawab para pekerja di ketinggian.

Idealnya seluruh pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian seperti pengoperasian tower crane di proyek kosntruksi atau pelabuhan peti kemas, pembangunan gedung bertingkat menggunakan scafold, perawatan gedung menggunakan gondola, pemasangan instalasi jaringan listrik atau di pekerjaan lain yang mempunyai peluang terjadinya jatuh dari ketinggian para pekerjanya mempunyai kompetensi yang mencukupi. Kecukupan kompetensi ini akan ikut menjamin pengurangan risiko kecelakaan kerja yang tentunya sangat tidak diinginkan oleh semua pihak. Karena para pekerja tentunya telah mengetahui batasan kompetensinya masing-masing dikaitkan dengan tingkat kesulitan yang ada pada masing-masing pekerjaan.

Setelah nanti standard kompetensi kerja pada ketinggian diberlakukan, Pemerintah dalam hal ini Depnakertrans sebaiknya menerbitkan aturan yang lebih tegas bagi semua pihak yang melakukan kegiatan kerja di ketinggian sebagai aturan teknis dari UU No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja khususnya pasal 2.e. Dengan aturan ini diharapkan tingkat kecelakaan kerja yang berakibat fatal akibat terjatuh, yang pada akhir 2007 mencapai 5 jiwa per hari hingga menempatkan Indonesia terburuk setelah Cina, dapat diturunkan secara signifikan yang akhirnya dapat meningkatkan citra Indonesia sebagai tempat berusaha yang memperhatikan K3 secara baik.

Lembaga Khusus Pelatihan Kerja Di Ketinggian.

Lembaga Khusus Pelatihan Kerja Di Ketinggian

Dengan tingkat risiko yang sangat tinggi, penngusaha wajib memberikan pelatihan yang memadai para pekerja yang melakukan kegiatan di ketinggian. Banyak lembaga pelatihan menawarkan program pelatihan dengan berbagai iming-iming output, sebagian lembaga adalah perusahaan jasa keselamatan dan kesehatan kerja (PJK3). Sesuai dengan Pedoman Kerja di Ketinggian dengan Teknik Rope Access yang berwenang memberikan pelatihan kerja di ketinggian adalah PJK3 yang khusus untuk itu, yaitu PJK3 Rope Access.

Jika demikian halnya, bagaimana nasib dari sertifikat yang telah diterbitkan oleh PJK3 bagi para peserta yang telah mengikuti pelatihan kerja di ketinggian? Karena jika kecelakaan tetap terjadi padahal pekerja telah mempunyai sertifikat pelatihan kerja di ketinggian yang diterbitkan oleh PJK3, apakah pengusaha dapat dikatakan lalai karena mengabaikan SK Dirjen No. 45/2008?

Mengingat tingkat risiko dan jenis kerja di ketinggian termasuk sangat jauh berbeda dengan kegiatan kerja lainnya di bidang datar di permukaan tanah atau bahkan dengan teknik bekerja di ketinggian lain seperti scapholding atau gondola, maka wajar jika Pemerintah dalam hal ini Depnaker perlu menerbitkan pedoman kerja yang berbeda, termasuk lembaga pelatihannya. Sehingga PJK3 saja dianggap belum cukup mempunyai kompetensi untuk memberikan kompetensi kerja di ketinggian.